Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengatakan pembebasan bersyarat terpidana korupsi dan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sudah melalui asesmen.
“Iya (bebas bersyarat) karena sudah melalui proses asesmen dan yang bersangkutan, berdasarkan hasil pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 (Juli) yang lalu,” kata Agus di Istana Kepresidenan, Jakarta, Ahad, 17 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Agus menuturkan Setya Novanto tidak perlu lagi melakukan lapor diri ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin karena sudah membayar denda subsider. “Putusan Peninjauan Kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya,” ujar Agus.
Eks Ketua DPR yang disapa Setnov itu mendapatkan bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 16 Agustus 2025. "Dia bebas bersyarat karena dia peninjauan kembalinya dikabulkan dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun,” kata Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pemasyarakatan Jabar Kusnali dikutip dari Antara, Ahad, 17 Agustus 2025.
Kusnali memastikan pemberian bebas bersyarat kepada Setya Novanto sudah sesuai dengan aturan dengan telah menjalani dua pertiga masa pidananya dari total pidana penjara 12,5 tahun. “Dihitung dua per tiganya itu mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025," ujarnya.
Namun, Kusnali mengatakan mantan Ketua DPR itu bebas dengan status bersyarat dan masih harus wajib lapor kepada Lapas Sukamiskin Bandung. "Setnov menjalani hukuman sejak 2017 dan senantiasa ada pengurangan remisi. Dia sudah keluar sebelum pelaksanaan 17 Agustus. Jadi, dia enggak dapat remisi 17 Agustus," ujar Kusnali.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali Setya Novanto dan memotong vonisnya menjadi 12,5 tahun penjara dalam perkara korupsi pengadaan e-KTP. MA juga mengubah pidana denda Setya Novanto menjadi Rp 500 juta yang apabila tidak dibayarkan diganti (subsider) dengan pidana 6 bulan kurungan.
Setya Novanto merupakan narapidana yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, ditambah kewajiban pembayaran uang pengganti uS$ 7,3 juta. Politikus Golkar itu terbukti melakukan korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011–2013.