SEKRETARIAT Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Seknas FITRA menilai tunjangan kompensasi pengganti rumah dinas DPR justru kontraproduktif di tengah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan, mengatakan tunjangan rumah DPR ini sebagai pemborosan anggaran negara. Sebab, anggaran ini seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti percepatan program 3 juta rumah layak huni bagi masyarakat miskin, apalagi ketika rakyat berjuang membayar rumah kontrakan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Wakil rakyat justru meminta kontrakan mewah dengan uang negara. Kondisi ini semakin menegaskan jargon efisiensi tidak sejalan dengan praktik boros DPR,” kata Misbah dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 20 Agustus 2025.
Selain melanggar prinsip efisiensi, Misbah berpendapat tunjangan rumah DPR dengan skema lumpsum jelas tidak transparan dan potensi penyalahgunaannya tinggi. Ia mengatakan belum tentu tunjangan yang diterima digunakan untuk kebutuhan rumah sewa/kontrak karena tidak ada laporan aktualnya.
“Padahal ada mekanisme lain seperti reimbursement atau laporan penggunaan keuangan yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas,” kata Misbah.
Kebijakan tunjangan rumah DPR yang besar justru memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dan rakyat yang mereka wakili. Misbah mengungkapkan banyak warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ia mengatakan gini ratio di Indonesia dalam 5 tahun terakhir cenderung tidak signifikan, yakni masih di sekitar angka 0,38 menurut data Badan Pusat Statistik.
“Artinya, secara statistik makro dampak pemberian tunjangan rumah dinas DPR dan rasio gini memang nyaris tak terlihat,” kata Misbah. “Namun secara persepsi keadilan dan legitimasi politik, kebijakan ini tetap bisa memperlebar jarak sosial antara elit dan rakyat.”
FITRA juga melihat tunjangan rumah DPR berbanding terbaik dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang masih membutuhkan program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi kinerja dewan saat ini masih tergolong rendah, terutama pada aspek legislasi dan pengawasan anggaran.
“Hampir tidak ada dokumen yang dihasilkan dari monitoring anggaran yang dilakukan oleh DPR,” kata Misbah.
Sebagai contoh, kata Misbah, capaian pengesahan Rancangan Undang-Undang dalam Program Legislasi Nasional prioritas tiga tahun terakhir masih rendah, tidak lebih dari 14 persen yang selesai. “Belum lagi peran pengawasan DPR yang masih formalitas,” ujarnya.
Menurut Misbah, seharusnya DPR melakukan efisiensi sebesar-besarnya dan dialokasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memfasilitasi anggotanya. Tunjangan rumah dinas DPR seharusnya digunakan untuk mendukung program-program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin dan rentan, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
“Misalnya akses terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan vokasi, ekonomi mikro atau mempercepat program pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini lambat atau mandeg,” kata Misbah.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menilai pemberian tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan untuk legislator berdasarkan pertimbangan efisiensi anggaran. Ia mengatakan alokasi tunjangan itu bisa menghemat ratusan miliar untuk pemeliharaan Rumah Jabatan Anggota (RJA) atau rumah dinas yang sebelumnya diberikan kepada DPR.
“Lebih baik tunjangan perumahan daripada ratusan miliar setiap tahun untuk memperbaiki RJA,” kata Said di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 19 Agustus 2025.
Legislator Fraksi PDIP itu belum memberikan angka pasti berapa besar anggaran untuk merawat rumah dinas di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Namun, ia meyakini kompensasi tunjangan perumahan lebih masuk akal dibanding menempati rumah-rumah dinas. Sebab, kata dia, butuh anggaran yang besar untuk melakukan perawatan rumah dinas yang mencakup pemeliharaan taman, menggaji satpam, hingga renovasi kerusakan.
“Kami menghindari pemborosan. Kan RJA itu boros. Biaya pemeliharaannya ya, yang boros,” kata Said.
Selain menghemat anggaran pendapatan dan belanja negara, Said menilai tunjangan rumah itu bermanfaat untuk mendorong kinerja DPR lebih maksimal. Dia beralasan, para anggota dewan bisa datang lebih cepat ke agenda rapat dengan menghuni tempat tinggal rumah di sekitar Senayan, Jakarta Pusat.